Selamat Datang di Guitar Laboratory

Kursus Privat Gitar Elektrik Langsung Bersama Doni Riwayanto, S.Sn di Yogyakarta

Hubungi: doni_riwayanto@yahoo.co.id

atau in box ke account facebook doni riwayanto

Doni Riwayanto adalah seorang instruktur gitar elektrik yang telah berpengalaman lebih dari 7 tahun mencetak gitaris-gitaris muda handal.

Selain sebagai instruktur gitar juga aktif menulis buku, artikel, maupun sillabus pengajaran musik.

Beberapa buku telah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Salah satu bukunya merupakan best seller buku musik di Gramedia Pustaka Utama. Berjudul “Gitar Elektrik - Teknik Dasar dan Aplikasi” serta “Mainkan Lead Guitar - Manuver-manuver aplikatif dalam permainan lead guitar elektric”.

Mendapatkan gelar Sarjana Seni Musik dari Institut Seni Indonesia dengan tugas akhir berjudul "ANALISIS MUSIKOLOGIS FENOMENA POLYCHORDAL DALAM POLA PENEMPATAN ARPEGGIO SEPTIM TERHADAP AKOR-AKOR SUPERIMPOSE (Sebuah Studi Improvisasi Jazz Untuk Instrumen Gitar).





07 August 2009

Status Facebook dan Budaya Instan  dalam Tradisi Tulis Masyarakat Blogger
Oleh Doni Riwayanto





Sebuah pola yang membosankan itu selalu berulang. Terjadi dalam segala lini kehidupan. Pada awalnya adalah sesuatu yang bermakna. Kemudian karena sebab tertentu terreduksi hingga menjadi subkultur dari sebuah mainstream baru bernama budaya instan. Sebuah pola membosankan namun selalu dan selalu terulang.

Pada mulanya blog atau weblog diharapkan menjadi media alternatif pembayang arrogansi media konvensional yang bersifat searah. Weblog memberikan ruang bagi informasi publik dari sudut pandang yang berbeda. Karena bersifat publik dan memungkinkan setiap orang menawarkan informasi sekaligus opini pribadinya, media ini menjadi kaya warna. Jauh berbeda dengan media konvensional yang dikelola segelintir orang namun dicerna oleh sangat banyak orang.




Blogger, sebutan terhadap seseorang yang mengelola weblognya, menjadi semacam jurnalis independen yang tidak dipengaruhi oleh atasan ataupun kepentingan perusahaan. Blogger aktif terbiasa membentuk opini dalam pikirnya kemudian menyodorkan opini tersebut pada publik untuk dibenturkan dengan opini-opini orang lain (bahkan opininya sendiri) terutama dalam sebuah komunitas blog di mana dia memposting opininya. Dalam interaksi tersebut tumbuh suburlah tradisi tulis. Sebuah budaya berharga yang menjadikan hidup ini disebut dalam sejarah. Tak berlebihan jika banyak kalangan menaruh harapan pada komunitas blogger agar menjadi media alternatif pembayang media konvensional.

Dalam perkembangannya weblog yang bermunculan memiliki muatan yang beraneka ragam. Mulai dari ilmu pengetahuan yang sangat serius, informasi sederhana, hingga ajang narsistik penuh bunga. Namun apapun ujudnya tradisi tulis (dan tentu saja tradisi baca juga) tetap terjaga di sana. Tradisi ini melibatkan profesional, ibu rumah tangga, hingga pelajar bau kencur. Semua mendapat hak yang sama untuk menulis dan membaca dalam sebuah media publik yang dapat diakses dengan mudah hampir oleh setiap orang.

“Status” Facebook dan Budaya Instan
Semestinya penulis tak hendak menyebut nama produk secara spesifik. Namun nampaknya hal itu tidak bisa dihindari dan setelah dipikir kembali apa salahnya menyebutnya secara spesifik. Ya, “status” facebook sama dengan budaya pop yang lain. Budaya instan, budaya cepat, dalam tradisi tulis masyarakat blogger.
Seperti telah terjadi dalam berbagai lini kehidupan yang lain. Ambil contoh dalam dunia musik. Di mana musik populer dengan format sederhana pada akhirnya mampu menguasai dan menjadi mainstream baru, menggeser musik-musik yang bersifat lebih kompleks menjadi subkultur. Pun begitu yang terjadi dalam “status” facebook. Konten tulisan yang begitu pendek menjadi madu pemikat kumbang para pseudo blogger.
Posting “status” dengan beberapa kata menjadi sangat menarik karena cepat ditulis dan cepat dibaca. Benar kata Amir Piliang dalam Dunia yang Dilipat, bahwa kecepatan kini menjadi ideologi baru yang seolah mesti diikuti oleh semua orang. Posting pendek ini bukannya tak berarti. Banyak pula posting “status” yang hanya terdiri dari beberapa puluh kata namun memiliki makna yang dalam. Namun tentu pelipatan (reduksi jumlah suku kata) bahasa ini akan mengurangi kedalaman yang bisa dicapai dengan posting artikel dalam ratusan kata.

“Status” Facebook = Senjakala dalam Masyarakat Blogger?
Posting pendek model “status” facebook kini mulai dikembangkan dalam situs-situs jejaring sosial yang lain. Entah dengan pertimbangan apa para pengelola menambahkan fitur tersebut. Yang pasti kini tradisi tulis instan dalam masyarakat bloger mulai merebak. Akankah ini menjadi antiklimaks dalam dunia weblog? Sebuah media alternatif yang diharap benar-benar mampu menjadi alternatif?

Tak ada yang mampu menjawabnya saat ini. Namun setidaknya berkaca dari kasus-kasus lain yang serupa, nampaknya subkultur akan tetap ada dan menjadi subkultur, sementara mainstream akan tetap menjadi mainstream. Hukum alam akan bekerja di sana. Penulis sejati dengan loyalitas tinggi dalam dunia tulis menulis weblog akan tetap bertahan. Sementara para pseudo blogger akan segera terlena dengan budaya instan ini.

Budaya instan tak selamanya tidak berguna. Dalam porsi tertentu dia tetap dibutuhkan. Seperti halnya mi instan dibutuhkan kala tengah malam di mana penjual bakmi goreng sungguhan telah tutup. Namun tradisi tulis yang kemaren dulu sempat mulai menjamur dari profesional, ibu rumahtangga, hingga abg belasan, nampaknya akan segera sirna. Sesungguhnya kondisi itulah kondisi yang anomali. Dan kondisi kinilah kondisi yang lumrah.