Selamat Datang di Guitar Laboratory

Kursus Privat Gitar Elektrik Langsung Bersama Doni Riwayanto, S.Sn di Yogyakarta

Hubungi: doni_riwayanto@yahoo.co.id

atau in box ke account facebook doni riwayanto

Doni Riwayanto adalah seorang instruktur gitar elektrik yang telah berpengalaman lebih dari 7 tahun mencetak gitaris-gitaris muda handal.

Selain sebagai instruktur gitar juga aktif menulis buku, artikel, maupun sillabus pengajaran musik.

Beberapa buku telah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Salah satu bukunya merupakan best seller buku musik di Gramedia Pustaka Utama. Berjudul “Gitar Elektrik - Teknik Dasar dan Aplikasi” serta “Mainkan Lead Guitar - Manuver-manuver aplikatif dalam permainan lead guitar elektric”.

Mendapatkan gelar Sarjana Seni Musik dari Institut Seni Indonesia dengan tugas akhir berjudul "ANALISIS MUSIKOLOGIS FENOMENA POLYCHORDAL DALAM POLA PENEMPATAN ARPEGGIO SEPTIM TERHADAP AKOR-AKOR SUPERIMPOSE (Sebuah Studi Improvisasi Jazz Untuk Instrumen Gitar).





02 August 2008

Musik Etnik di Tengah Isu Global

(Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut SIEM pertama tahun 2007. Pada bulan Agustus 2008 ini, akan dilaksanakan SIEM ke dua. Maka untuk menyambutnya, tulisan ini diposting saat ini)


Solo International Ethnic Music (SIEM), yang berlangsung di Solo 1 – 5 September 2007, merupakan semacam forum silaturrahmi musik-musik etnik dari berbagai penjuru dunia. Yasudah, Sekretaris Jendral SIEM mengungkapkan, “Tidak terpikit memoles musik etnik mereka, kalau dipoles mungkin sudah bukan etnis lagi. Karena itu kita tidak perlu membandingkan, apalagi menilai baik buruk satu etnis terhadap etnis yang lain.” (Kompas 3/9/07). Jadi pencapaian apa sesungguhnya yang layak diemban forum tersebut selain sebagai mediator antar musik etnik yang semakin tidak punya tempat dengan apresian yang semakin terkepung oleh budaya populer?



Arus globalisasi yang semakin tak terbendung, selalu membawa harapan akan lahirnya sebuah komunitas ekonomi-sosial-budaya tak berbatas, sekaligus kekhawatiran akan lunturnya identitas budaya lokal. Pun begitu pula yang terjadi di dalam dunia musik.

Gejala globalisasi dalam dunia seni-budaya telah terasa kehadirannya jauh sebelum konsep ekonomi global digembar-gemborkan ke penjuru dunia. Akulturasi seni antar etnis bukan lagi barang baru. Ditemukannya patung Budha dengan mengenakan jubah Yunani di India merupakan akulturasi seni-budaya yang memberikan salah satu pertanda bahwa cikal-bakal globalisasi budaya telah ada bahkan sebelum abad penjelajahan samudera dimulai.

Dalam dunia musik mesir kuno, Herodotus pernah merasa heran bahwa di Mesir terdapat lagu keluhan bernama Maneros, sementara lagu tersebut pernah pula terdengar di Yunani dengan nama Linos. Di jaman ini, Tangga Nada dan Tonal Diatonis yang menjadi dasar musik populer saat inipun merupakan perkembangan dari teori musik (etnik) Yunani yang telah berproses sekian ribu tahun.

Instrumen Gitar yang menjadi salah satu instrumen musik-musik etnik di eropa, konon merupakan instrumen dari Arab bernama Al-Ud (gambus) yang masuk melalui Spanyol. Sementara instrumen yang di Barat dikenal dengan Xylofon, hadir pula di Asia Tenggara dalam bentuk-bentuk yang termodifikasi baik bentuk maupun bahannya. Rangnat di Kamboja, Ranat di Thailand, Pattalar di Birma, Gambang di Jawa, dan Kolintang di Sulewesi dan Kalimantan.


Akulturasi dan Globalisasi
Akulturasi seni sejak dahulu hingga kini telah menjadi keniscayaan ketika terjadi sebuah interaksi sosial baik yang terjadi secara alami maupun dalam sebuah forum yang disengaja diciptakan untuk itu. Sehingga pemaknaan “akulturasi” dan “globalisai” menjadi penting untuk mencapai sebuah dialog seni-budaya yang sehat dan berimbang.

Akulturasi sebagai sebuah proses belajar menjadi penting untuk memancing gerak perkembangan yang kadang berhenti. Proses saling mempelajari nilai-nilai lokal, dengan melintas batas etnis-etnis yang saling berinteraksi, memberi peluang ditemukannya nilai baru yang kadang tak tersentuh jika kita berfikir sendirian.

Sedang globalisasi dalam artian interaksi menyeluruh antar musisi etnik yang tersebar di seluruh penjuru dunia (bahkan dengan musisi non etnik juga) menjadi tameng ampuh untuk bertahan terhadap globalisasi dalam artian penyeragaman konsumsi musik demi keuntungan ekonomis semata.


Menjaga Kemurnian atau Mempertahankan Kemandegan?
Bagi seorang seniman, bukan perkara mudah untuk menentukan sikap antara hendak “menjaga kemurnian” suatu musik etnik, atau mengembangkannya dengan kesadaran terhadap substansi kesenimanan. Dimana seniman punya tanggung jawab untuk menciptakan karya yang original dan bernilai baru, yang kadang jalannya adalah eksplorasi terhadap suatu karya seni yang sudah stabil. Salah satunya adalah eksplorasi terhadap musik etnik. Ya untuk perkembangan seniman, ya untuk perkembangan musik itu sendiri.

Sementara menjaga kemurnian musik etnik di salah satu sisi menjadi penting untuk mempertahankan identitas budaya suatu etnis. Dalam sudut tersebut, sangat benar statmen tentang: menjadi tidak penting lagi nilai “bagus dan tidak bagus” suatu musik etnik. Karena musik tersebut telah menjadi salah satu strategi kebudayaan untuk mempertahankan eksistensi.

Paradok semakin bertambah dengan fakta bahwa musik-musik etnik yang tersebar di seluruh penjuru dunia, sejak awalnya merupakan dialog antar kebudayaan. Sehingga menjadi sumir untuk melihat hubungan keterkaitan murni antar suatu etnis dengan karya musik etniknya. Sehingga membuka kembali celah seniman untuk melakukan akulturasi tanpa merasa “berdosa” karena telah “menodai kesucian” musik etniknya.

Doni Riwayanto
Pendidik, Penulis, dan Pengamat Musik.