oleh doni riwayanto
Sakralisasi musik indie oleh para pendukungnya (musisi-pengamat-penikmat) hanyalah sebuah tong kosong yang bahkan tak nyaring bunyinya. Semangat untuk melepaskan diri dari mainstream musik pop, telah ditumbangkan oleh para pelakunya sendiri. Indie lable hanya sekedar teknis pemasaran yang lebih sederhana ketimbang Major Lable, dan sama sekali bukan merupakan sebuah ukuran tingkat idealisme apa lagi tingkat kreatifitas musikal seorang musisi ataupun suatu karya musik.
Kenyataan pahit itu mau tidak mau harus dihadapi. Sebagian sangat besar (jika dianggap tidak logis untuk mengatakan semua) musik indie tidak benar-benar lepas dari mainstream musik pop dan budaya pop. Rock – Grindcore – HipMetal atau apapun, tanpa banyak disadari merupakan bagian dari musik pop dan budaya pop. Mengapa bisa demikian? Karena kesemuanya itu dibangun di atas struktur dasar musik konvensional yang secara sistematis telah disepakati publik selama ratusan tahun baik dari segi gramatik musik maupun format instrumentasi.
Musik dengan format combo band telah digunakan sejak tahun 1800an hingga saat ini tanpa banyak ‘perubahan berarti’, masih juga digunakan baik oleh musisi dibawah panji major lable ataupun indie lable. Semenjak Blues hingga Grindcore pola yang digunakan tetap sama. Melodi utama dinyanyikan oleh manusia, filler diisi oleh lead gitar, harmoni dimainkan oleh gitar rhythm ataupun keyboard, figur bas dimainkan oleh gitar bas elektrik, dan beat dijaga oleh drum set.
Secara gramatik sistem harmoni mengikuti sistem tonal yang telah digunakan sejak lebih dari tiga ratusan tahun yang lalu (Jean Philipe rameau’s – Tratise on Harmony 1722). Tangga nada tidak juga beranjak dari mayor atau minor diatonis, sementara lead gitar sering kali menggunakan mayor atau minor pentatonis. Dalam hal kerangka ritmik pun semua mengikuti sebuah pola yang telah distandarisasi. Kalaupun terdapat perubahan paling terletak pada sound gitar, lyric, tempo, dan sederet perbedaan lain yang tidak cukup kuat untuk mengeser esensi combo band.
Baik musik pop mains (easy listening) yang secara besar-besaran disangga oleh major lable, sampai musik underground yang dengan bangga tertatih-tatih membiayai sendiri proyeknya, secara esensial sama. Keduanya merupakan produk impor, dan kita cukup berperan sebagai ahli waris yang dengan bangga menyatakan bahwa produk itulah wujud idealisme kita. Sementara dari tempat asalnyapun, musik tersebut masih kepanjangan tangan dari bentuk musik konvensional, musik pop dan budaya pop.
Sementara klaim tentang musik indie tidak mau didekte pasar serta muncul dari hati, personal, di luar mainstream musik pop dan seni pop umum yang disebarluaskan industri (kompas, 27/4/07) menjadi patut dipertanyakan, karena pada dasarnya hampir semua musik indie (yang dalam prakteknya sering diidentikkan dengan band indie) sebagian besar masih juga ter-dikte oleh pola-pola lama, pola konvensional musik pop. Tanpa sadar, grand theory musik pop yang berusaha dilawannya masih juga digunakan baik ditinjau dari materi musik yang bersifat fisik (instrumentasi) maupun materi musik yang bersifat nonfisik (gramatik musik).
Penghianatan Musisi Indie?
Maka apa yang disebut sebagai “penghianatan” musisi indie yang berwujud keberpindahannya ke major label ternyata hanyalah mitos belaka. Bukanlah sesuatu yang menakjubkan ketika banyak musisi indie berpindah ke major lable. Karena keduanya kebanyakan masih berada pada nafas yang sama, bentuk yang sama, dan nilai estetis yang setara. Sehingga perpindahan posisi antara musik underground terhadap ‘overground’gaya memiliki zamannya. Namun setiap gaya dan zaman tidak pernah lepas dari konvensi yang telah disepakati selama bertahun-tahun. Format combo band, rif yang berulang-ulang, ‘unirhythm’, akor plus harmoni standar dan lain-lain. dapat difahami sebagai persoalan pergeseran standar trend. Pergeseran selera pasar dari blues – rock n roll – hard rock – heavy metal – hip metal – modern rock – dan seterusnya dan seterusnya, memberikan sebuah gambaran bahwa format musik yang diterima pasar sejak dahulu kala tidak pernah berubah. Setiap
Maka ketika banyak musisi dengan gagah berani menapaki dunia indie dan berikrar selalu setia di jalur indie, tetapi masih juga terjebak dalam pola-pola standar musik pop, dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang muspra (tidak menghasilkan sesuatu). Tidak menghasilkan materi berlimpah selayaknya pengikut major lable, tidak pula menghasilkan suatu karya yang bernilai baru selayaknya pahlawan pengemban “misi suci” yang sesungguhnya dari seorang seniman.
Tidak dapat disangkal bahwa musisi-musisi yang berada pada zona indie dapat berkreasi “semau gue”. Berbeda dengan musisi yang telah “mengabdi pada” major label, yang sering kali mesti menyederhanakan bentuk musiknya tidak tahu demi selera produser atau selera pasar. Tetapi yakinkah bahwa kreasi yang “semau gue” tersebut telah terlepas dari standar musik konvensional? Seperti cita-citanya yaitu mendobrak mainstream musik pop. Dan kenyataan membuktikan bahwa jawabannya sering kali “tidak”, karena kita semua tahu bahwa sebagian besar musik indie masih juga mengikuti pakem berupa format combo band dengan unsur-unsur dasar pembentuk musik (melodi-harmoni-ritme-timbre-soul-dan terutama gagasan musikal) yang belum juga diperbarui.
Pembaruan yang tak lagi baru
Pembaruan berupa sound distorsi gitar yang teramat pecah, atau beat drum super cepat, memainkan bas gitar dengan dipukul-pukul, melodi gitar meraung-raung, apalagi “sekedar” lirik yang kasar, tidak cukup mencerminkan suatu gagasan baru. Paling cuma menghadirkan timbre dan warna suara tidak lazim. Sementara bukankah ketidak laziman itu sendiri telah banyak digunakan? Lebih jauh lagi, beranikah kita mengakui bahwa “ketidak laziman yang sebenarnya telah lazim” itu merupakan murni gagasan kita?
Sekali lagi, pembaruan itu tidak pernah menyentuh ranah yang lebih esensial. Gagasan polyrhythm yang baru umpamanya. Di mana drum memainkan sukat 3/4 sementara gitar memainkan 7/8 dan dimainkan pada saat yang bersamaan. Atau konsep akor yang bersemangat kontemporer misalnya. Di mana akor tidak lagi disusun atas trinada Do-mi-sol (struktur akor mayor) tetapi do-fa-si (salah satu struktur akor dalam sistem harmoni kuartal) seumpama. Bahkan dalam khasanah musik kontemporer konsep-konsep yang baru saja disebutkan ini bukan merupakan gagasan baru lagi.
Jadi jika demikian dimanakah sebenarnya esensi pembebasan musik indie terhadap mainstream musik pop? Jawabnya tidak ada sama sekali karena keduanya tidak berbeda. Musik indie dalam kenyataannya tidak pernah lepas dari mainstream musik pop. Baik secara instrumentasi, gramatik dan terutama grand theory musik konvensional.
Mengatur Strategi
Pemaparan fenomena ini sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan musik apapun. Tetapi justru sebaliknya, hendaknya menjadi pemicu untuk meningkatkan kreatifitas bermusik. Membuka cakrawala berfikir bahwa masing-masing punya tempat punya porsi yang berbeda meski ternyata masih dalam kerangka musikal yang sama. Kini pembedanya bukan lagi persoalan major ataupun indie, tetapi nilai baru sebuah gagasan yang diajukan.
Hendaknya strategi yang digunakan para musisi indie digeser dari “semau gue” menjadi eksplorasi atau pencarian bentuk dan formula musik baru. Apa artinya bermain “semau gue” tetapi masih merupakan stereotype dari apa yang telah dilakukan orang lain. Bermain musik cadas dengan lirik kasar memang menjadikan seorang musisi grindcore berbeda dengan musisi balad. Tetapi tidak menjadikannya berbeda dari musisi grindcore lain yang dahulu pertamakali menggagasnya. Dan hal itu berlaku bagi musisi apapun tidak cuma grindcore. Tetapi juga musisi rock, jazz, klasik, dangdut atau apapun yang memainkan musiknya tanpa mampu memberi nafas baru terhadap gaya konvensional yang telah diwariskan secara turun temurun.